Sabtu, 09 Februari 2013

Tipologi dan Proyeksi Pemikiran Tafsir Kontemporer: Studi atas Ide Dasar Hermeneutika al-Qur’an

Makalah disampaikan saat bedah buku Dinamika Sejarah Tafsir Al-Qur’an : Studi Aliran Tafsir Dari Periode Klasik,Pertengahan, Hingga Modern-Kontemporer di STAIN Pekalongan yang diadakan oleh HMJ Ushuluddin 2012


Oleh : Prof. Phill Sahiron Syamsuddin

A. Pendahuluan
Diskusi-diskusi kontemporer di kalangan sarjana-sarjana Muslim mengenai bagaimana seharusnya al-Qur’an dipahami, ditafsirkan, dan diaplikasikan ke dalam kehidupan sehari-hari, dilatarbelakangi oleh satu kenyataan bahwa Umat Islam secara keseluruhan meyakini bahwa al-Qur’an sebagai kitab suci terakhir adalah wahyu Allah yang shalih li-kulli zaman wa-makan (sesuai dengan segala waktu dan tempat), sehingga ia harus dijadikan pegangan hidup untuk mencapai keselamatan dan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Hal ini adalah satu sisi realita keyakinan keagamaan. Di sisi lain, kita juga mengetahui bahwa al-Qur’an pada awalnya diwahyukan kepada Nabi Muhammad Saw untuk merespons kondisi dan situasi sosial, politik, dan relijius masyarakat Arab saat itu yang jauh berbeda dengan kondisi dan situasi kita saat ini. Dari sini, muncullah beberapa pertanyaan: Bagaimana seharusnya sarjana-sarjana Muslim menafsirkan al-Qur’an, sehingga pesan-pesan ilahi dapat ditangkap secara baik dan benar? Haruskah kita memahami dan menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an secara literal dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari sesuai dengan pemahaman literal tersebut? Manakah dari al-Qur’an yang shalih li-kulli zaman wa-makan: makna literal atau makna pesan utama di balik makna literal?

B. Tipologi Pembacaan al-Qur’an pada Masa Kontemporer
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan krusial di atas, ulama-ulama/sarjana-sarjana Muslim kontemporer terbagi ke dalam tiga kelompok:[1]

1.       Pandangan quasi-obyektivis tradisionalis
Yang dimaksud dengan pandangan quasi-obyektivis tradisionalis adalah suatu pandangan bahwa ajaran-ajaran al-Qur’an harus dipahami, ditafsirkan dan diaplikasikan pada masa kini, sebagaimana ia dipahami, ditafsirkan dan diaplikasikan pada situasi, di mana al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad dan disampaikan kepada generasi Muslim awal. Umat Islam yang mengikuti pandangan ini, seperti Ikhwanul Muslimin di Mesir dan kaum salafi  di beberapa negara Islam, berusaha menafsirkan al-Qur’an dengan bantuan berbagai perangkat metodis ilmu tafsir klasik, seperti ilmu asbab al-nuzul, ilmu munasabat al-ayat, ilmu tentang ayat-ayat muhkam dan mutashabih dll. dengan tujuan dapat menguak kembali makna obyektif atau makna asal (objective meaning/original meaning) ayat tertentu. Pandangan ini mempunyai tendensi utama memegangi pemahaman literal terhadap al-Qur’an. Ketetapan-ketetapan hukum (juga ketetapan-ketetapan yang lain) yang tertera secara tersurat di dalam al-Qur’an dipandangnya sebagai esensi pesan Tuhan, yang harus diaplikasikan oleh umat Islam di manapun dan kapanpun. Hal ini mengarah kepada satu kenyataan, bahwa tujuan-tujuan pokok atau alasan-alasan yang melatarbelakangi penetapan hukun (maqashid al-sharБa) tidak diperhatikan secara prinsipil. Para ulama yang memegang teguh pandangan ini memang menjelaskan beberapa tujuan hukum yang mungkin merupakan dasar ketetapan-ketetapan hukum al-Qur’an, namun penjelasan mereka itu tidak dimaksudkan untuk memberikan penekanan pada tujuan-tujuan penetapan hukum itu sendiri, melainkan bertujuan untuk menunjukkan bahwa ketetapan-ketetapan dalam al-Qur’an itu rasional dan sebaiknya atau seharusnya diaplikasikan dalam kehidupan umat Islam sepanjang masa. Singkat kata, apa yang dimaksud dengan moto al-qur’an shaliÎ li-kulli zaman wa-makan adalah arti literal dari apa yang tersurat secara jelas dalam al-Qur’an.
Contoh Penafsiran:
1.   Q.S. 4:11 (tentang pembagian warisan) à Menurut kelompok ini, pembagian 1:2 adalah pesan utama, sehingga aturan ini harus diikuti sepanjang masa dan di segala tempat.
2.   Q.S. 4:3 (tentang poligami) à pembolehan poligami sebagai pesan inti.
   
2.       Pandangan subyektivis
Berbeda dengan pandangan-pandangan tersebut di atas, aliran subyektivis menegaskan bahwa setiap penafsiran sepenuhnya merupakan subyektivitas penafsir, dan karena itu kebenaran interpretatif bersifat relatif. Atas dasar ini, setiap generasi mempunyai hak untuk menafsirkan al-Qur’an sesuai dengan perkembangan ilmu dan pengalaman pada saat al-Qur’an ditafsirkan. Pandangan seperti ini antara lain dianut oleh Muhammad Shahrur (Syahrur; Shahrour). Dia tidak lagi tertarik untuk menelaah makna asal dari sebuah ayat atau kumpulan ayat-ayat. Mufassir modern, menurutnya, seharusnya menafsirkan al-Qur’an sesuai dengan perkembangan ilmu modern, baik itu ilmu eksakta maupun non-eksakta. Shahrur menegaskan bahwa kebenaran interpretatif terletak pada kesesuaian sebuah penafsiran dengan kebutuhan dan situasi serta perkembangan ilmu pada saat al-Qur’an ditafsirkan.  Dia mengatakan, misalnya:
Ijtihad itu dipandang benar dan dapat diterima, jika ia sesuai dengan realitas (kehidupan) obyektif, dengan kata lain, jika ‘pembaca’ teks memahami realitas obyektif pada saat melakukan ‘penafsiran historis’. Pemahaman dan kesesuaian (dengan realitas obyektif) merupakan ukuran yang dapat menentukan apakah sebuah penafsiran itu benar atau salah.[2]
Jadi, baginya, tak satu penafsiran pun mempunyai  kebenaran absolut. Atas dasar ini, penafsiran al-Qur’an pada masa awal Islam hanya merupakan usaha eksegetik awal (al-ihtimal al-awwal), bukan satu-satunya penafsiran yang otoritatif (at-tafsir al-wahid), sehingga kebenarannya bersifat relatif (nisbi), dalam arti hanya sesuai dengan kebutuhan masanya.[3] Dalam hal ini dia berpegang pada adagium: tsabat al-nashsh wa-harakat al-muhtawa (teks al-Qur’an tetap, tetapi kandungannya terus bergerak atau berkembang). Dia memandang bahwa al-Qur’an seakan-akan baru saja diterima oleh kita dari Nabi Muhammad saw.[4] Ide tentang relativitas penafsiran ini, menurutnya, diinspirasi oleh ‘filsafat proses’ yang dikemukakan oleh Whitehead, seorang filosof kontemporer berkebangsaan Inggris.
Contoh:
1.   Q.S. 4:11
a.    Penafsiran Shahrur dalam kitabnya al-Kitab wa-l-Qur’an: Pembagian warisan 1:2 adalah batas minimal (al-hadd al-adna) bagi anak perempuan dan batas maksimal (al-hadd al-a‘la).
b.   Penafsirannya dalam bukunya Nahwa Ushul Jadidah: Ayat tersebut ditafsirkan dengan menggunakan teori himpunan dan teori fungsi dalam matematika modern.
2.   Q.S. 4:3 à Poligami diperbolehkan dengan syarat yang ditetapkan dalam ayat tersebut dan bisa diaplikasikan sesuai dengan mempertimbangkan kondisi masyarakat. Istri kedua dan seterusnya harus janda yang mempunyai anak yatim.

3.       Pandangan quasi-obyektivis modernis
Pandangan quasi-obyektivis modernis memiliki kesamaan dengan pandangan quasi-obyektivis tradisionalis dalam hal bahwa mufassir di masa kini tetap berkewajiban untuk menggali makna asal dengan menggunakan di samping perangkat metodis ilmu tafsir, juga perangkat-perangkat metodis lain, seperti informasi tentang konteks sejarah makro dunia Arab saat penurunan wahyu, teori-teori ilmu bahasa dan sastra modern dan hermeneutika. Hanya saja, aliran quasi-obyektivis modernis yang di antaranya dianut oleh Fazlurrahman dengan konsepnya double movement,[5] Muhammad al-Thalibi dengan konsepnya al-tafsir al-maqashidi[6] dan Nashr Hamid Abu Zayd dengan konsepnya al-tafsir al-siyaqi,[7] memandang makna asal (bersifat historis) hanya sebagai pijakan awal bagi  pembacaan al-Qur’an di masa kini; makna asal literal tidak lagi dipandang sebagai pesan utama al-Qur’an. Bagi mereka, sajana-sarjana Muslim saat ini harus juga berusaha memahami makna di balik pesan literal, yang disebut oleh Rahman dengan ratio legis, dinamakan oleh al-Thalibi dengan maqashid (tujuan-tujuan ayat) atau disebut oleh Abu Zayd dengan maghza (signifikansi ayat). Makna di balik pesan literal inilah yang harus diimplementasikan pada masa kini dan akan datang.
Contoh:
1.   Q.S. 4:11
·           Pembagian 1:2 adalah historis sesuai dengan kondisi masyarakat Arab waktu turunnya ayat tersebut. Makna obyektif/historis tidak harus diaplikasikan di sepanjang masa dan tempat
·           Signifikansi ayat tersebut adalah pemberian hak untuk waris kepada kaum wanita
2.   Q.S. 4:3: Pembolehan poligami disesuaikan dengan kondisi sejarah pada masa Nabi. Makna ini boleh ditangguhkan (dilarang). Signifikansi/pesan utama ayat tersebut adalah pembebasan kaum wanita dari hegemoni kaum pria, serta pembumian nilai keadilan.

C.       Pembacaan Ma‘na-cum-Maghza sebagai Alternatif
1. Definisi
Dari tiga pandangan di atas, pandangan quasi-obyektivis modernis lebih dapat diterima dalam rangka memproyeksikan pengembangan motode pembacaan al-Qur’an pada masa kini. Kelemahan pandangan quasi-obyektivis-tradisionalis terletak pada beberapa kelemahan. Pertama, mereka tidak memperhatikan kenyataan bahwa sebagian ketetapan hukum tersurat dalam al-Qur’an, seperti hukum perbudakan, tidak lagi (paling tidak, pada masa sekarang) dapat diaplikasikan dalam kehidupan. Kedua, mereka tidak membedaan antara pesan inti al-Qur’an dan pesan superfisial (bukan inti). Ketiga, pandangan ini tidak memberikan peran akal yang signifikan. Keempat, mereka yang memiliki pandangan ini tidak tertarik untuk melakukan pembaharuan pemahaman mereka terhadap al-Qur’an untuk mencoba menjawab tantangan-tantangan modern dengan cara mempertimbangkan adanya perbedaan yang sangat menyolok antara situasi pada saat diturunkannya wahyu dan situasi yang ada pada masa kini. Keterkungkungannya pada makna asal yang literal dan mengenyampingkan pesan dibalik makna literal sebuah ayat atau kumpulan ayat. Sementara itu, pandangan subyektivis cenderung menafsirkan al-Qur’an sesuai dengan kemauan pembaca, padahal tugas pertama seorang mufassir adalah membiarkan teks yang ditafsirkan itu berbicara dan menyampaikan pesan tertentu, dan bukan sebaliknya. Akseptabilitas pandangan quasi-obyektivis modernis terletak pada apa yang bisa disebut dengan “keseimbangan hermeneutik”, dalam arti bahwa ia memberi perhatian yang sama terhadap makna asal literal (al-ma‘na al-ashli) dan pesan utama (signifikansi; al-maghza) di balik makna literal. Hanya saja, kelompok quasi-obyektivis modernis tidak memberikan keterangan secara panjang lebar tentang ‘signifikansi’: Apakah signifikansi yang dipahami pada masa Nabi atau pada saat ayat tertentu diinterpretasikan? Menurut penulis, ada dua macam signifikansi. Pertama, ‘signifikansi fenomenal’, yakni pesan utama yang dipahami dan diaplikasikan secara kontekstual dan dinamis mulai pada masa Nabi hingga saat ayat ditafsirkan dalam periode tertentu. Dari definisi ini, kita dapat membagi signifikansi fenomenal ke dalam dua macam, yakni ‘signifikansi fenomenal historis’ dan ‘signifikansi fenomenal dinamis’. Signifikansi fenomenal historis adalah pesan utama sebuah ayat atau kumpulan ayat yang dipahami dan diaplikasikan pada masa pewahyuan (masa Nabi), sedangkan signifikansi fenomenal dinamis adalah pesan al-Qur’an yang dipahami dan didefinisikan pada saat ayat atau kumpulan ayat tertentu ditafsirkan, dan setelah itu diaplikasikan dalam kehidupan. Untuk memahami signifikansi fenomenal histroris, diperlukan pemahaman terhadap konteks makro dan mikro sosial keagamaan masyarakat yang hidup pada masa pewahyuan. Informasi-informasi historis yang terkandung dalam asbab an-nuzul menjadi sangat penting. Sementara itu, untuk memahami signifikasi fenomenal dinamis, diperlukan pemahaman terhadap perkembangan pemikiran dan Zeitgeist (‘spirit-masa’) pada saat penafsiran teks. Kedua, ‘signifikansi ideal’, yakni akumulasi ideal dari pemahaman-pemahaman terhadap signifikansi ayat. Akumulasi pemahaman ini akan diketahui pada akhir/tujuan peradaban manusia yang dikehendaki oleh Allah Swt. Dari sini, dapat diketahui bahwa sesuatu yang dinamis dari penafsiran bukan terletak pada makna literal teks, melainkan pada pemaknaan terhadap signifikansi (pesan utama) teks, karena makna literal adalah monistik (satu), obyektif, dan historis-statis, sementara pemaknaan terhadap signifikansi teks bersifat pluralis, subyektif (juga intersubyektif) dan historis-dinamis sepanjang peradaban manusia. Pendekatan semacam ini merupakan gabungan antara obyektivitas dan subyektifitas dalam penafsiran, antara wawasan teks dan wawasan penafsir, antara masa lalu dan masa kini, dan terakhir antara aspek ilahi dan aspek manusiawi. Dalam pembacaan yang didasarkan pada perhatian yang sama terhadap makna dan signifikansi (ma‘na-cum-maghza) terletak ‘balanced hermeneutics’ (hermeneutika yang seimbang/hermeneutika keseimbangan).

2. Contoh Aplikasi Pembacaan Alternatif 
Agar proyek pemahaman alternative ini dapat dipahami lebih baik, satu contoh aplikasinya segera dikemukakan di sini. Bentuk penafsiran ini akan mencoba menguak makna dan signifikansi dari pernyataan dalam Q.S. al-Nisa’: 11 yang memuat sistem pembagian warisan bagi anak laki-laki dan anak perempuan. Pernyataan atau penggalan ayat tersebut berbunyi:
yushikumu llahu fi awladikum li-dz-dzakari mitslu hadzdzi l-untsayayni ...

Penggalan ayat ini dapat diterjemahkan sebagai berikut:

Allah mensyari’atkan bagimu (tentang pusaka) untuk anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak laki-laki sama dengan bahagian dua anak perempuan ...

Dengan memperhatikan makna asli/obyektif dari teks tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam pembagian harta warisan seorang anak laki-laki mendapatkan harta pusaka dua kali lipat lebih besar daripada bagian seorang anak perempuan. Pembagian semacam ini konon telah diaplikasikan sejak zaman Nabi Muhammad. Sistem seperti inilah yang ditransfer secara terus menerus dalam tradisi Islam sunni. Karena secara bahasa pernyataan ini sangat jelas dan substansinya telah dipraktikkan pada masa awal Islam, maka sebagian besar ulama memandang penggalan ayat tersebut (juga ayat-ayat warisan secara keseluruhan) sebagai qath‘iyat ad-dalalah (menunjukkan arti yang pasti). Konsekuensinya, menurut mereka, aturan ini harus diikuti oleh semua orang Islam di manapun dan kapanpun. Di masa klasik, kesadaran akan keadilan ini sudah tertanam begitu dalam, meskipun para ulama pada akhirnya lebih cenderung mengikuti makna literal ayat tersebut dengan memberikan argumentasi mengapa perbedaan prosentase (antara anak laki-laki dan perempuan) dalam pembagian harta warisan itu harus terjadi. Ibn Katsir (w. 774 H.), misalnya, menafsirkan penggalan ayat tersebut, sebagai berikut:

Allah memerintah kalian untuk menegakkan keadilan (‘adl) dalam hal (pembagian warisan untuk) mereka (anak-anak kalian). Sesungguhnya kaum Jahiliyah dahulu membagikan seluruh harta pusaka hanya kepada orang laki-laki. Tak seorang wanita pun memperoleh bagian. Kemudian Allah memerintah (umat Islam) pada asal pembagian warisan untuk membagi rata (taswiyah) harta pusaka di antara mereka, dan Allah membedakan pembagian pusaka di antara dua jenis tersebut (laki-laki dan perempuan): Allah memberi seorang anak lelaki bagian yang sama dengan bagian dua anak perempuan. Demikian itu karena lelaki membutuhkan (dana yang lebih banyak) untuk menanggung nafkah keluarga, beban berbisnis dan berdagang, dan menanggung beban kehidupan yang lain. Maka, pantaslah anak lelaki diberi dua kali lipat bagian lebih besar dari bagian seorang anak perempuan.[8]  

Dari pernyataan tersebut, jelaslah bahwa Ibn Katsir menangkap pesan moral dari ayat tersebut, yakni keadilan, dan pembedaan prosentasi pembagian harta pusaka untuk anak laki dan anak perempuan, menurutnya, disebabkan oleh perbedaan beban kehidupan yang bisa dipandang sebagai alasan penetapan hukum warisan. Bagaimana jika kondis ini berubah, seperti halnya jika kaum wanita juga ikut serta dalam menanggung beban materi kehidupan dan berperan dalam bidang bisnis? Dalam hal ini Ibn Katsir tidak memberikan penjelasan. Dia justru tampak lebih cenderung memandang aturan pembagian harta warisan yang disebutkan secara literal sebagai aturan yang sesuai dan karenanya, harus dilaksanakan di segala zaman dan tempat. Dengan kata lain, Ibn Katsir memandang makna literal teks tersebut sebagai pesan utamanya dan bersifat final. Adapun penjelasannya tentang alasan penetapan hukum semata-mata dimaksudkan untuk menunjukkan kepada para pembaca bahwa penetapan pembagian waris dua-berbandig-satu itu merupakan penetapan adil yang dapat diterima oleh rasio manusia. Ibn Katsir tidak menyadari bahwa konsep keadilan ternyata berkembang sesuai dengan perkembangan pemikiran dan pengalaman manusia. Sementara itu, di era modern ini aturan tersebut telah dan masih dipertanyakan terutama berkaitan erat dengan konsep keadilan yang selalu dinamis itu. Amina Muhsin-Wadud, seorang feminis berkebangsaan Amerika-Afrika, mengemukakan dalam bukunya Qur’an and Woman:

The full extent of the Qur’anic provision requires a look at other details which can lead to redistribution of the inheritance according to the circumstances of the deceased and of those who inherit. The division of inheritance requires a look at all of the members, combinations and benefit. For example, if in a family of a son and two daughters, a widowed mother is cared for and supported by one of her daughters, why should the son receive a larger share? This might not be the decision if we look at the actual naf´a of those particular offspring. The Qur’an does not elaborate all possibilities. However, by providing a variety of scenarios, it is clear enough that many combinations can and do exist, which must be considered for the equitable distribution of inheritance.[9]   

Pernyataan Wadud ini mengimplikasikan bahwa sistem pembagian dua-berbanding-satu yang terdapat pada ayat tersebut tidaklah harus diamalkan secara mutlak, tapi bisa ditafsirkan ulang dengan mempertimbangkan kondisi masyarakat.  
Bagaimana dengan pembacaan berbasis ma‘na-cum-maghza? Sebagaimana telah dikemukakan, model pembacaan ini memberikan keseimbangan perhatian terhadap makna asal-literal teks dan signifikansinya (pesan utamanya). Tentang kandungan ayat tersebut, pembacaan ini tidak mengingkari makna literal yang menununjukkan pembagian dua-berbanding-satu. Makna inilah yang memang diaplikasikan pada masa Rasul. Pembagian ini dipandang sebagai aturan yang ‘adil’ sesuai dengan pemahaman manusia saat itu. Hal ini diketahui dari konteks historis bangsa Arab pada masa itu, di mana orang-orang yang berhak mendapat harta pusaka adalah kaum lelaki yang mampu berperang. Kaum wanita sama sekali tidak berhak untuk ikut mewarisi harta pusaka. Informasi semacam ini dapat disimpulkan, paling tidak, dari asbab an-nuzul ayat tersebut.[10] Pembagian dua-berbanding-satu dipandang adil, karena telah memberikan bagian tertetentu bagi kaum wanita. Pemberian bagian separoh lebih kecil untuk anak perempuan dipandang sebagai sesuatu yang dapat diterima dan sesuai dengan rasa ‘keadilan historis’, karena sebelum turunnya wahyu bagian wanita berada pada ‘titik nol’, sedangkan setelah turunnya wahyu bagian wanita (anak perempuan) berada pada ‘titik 50%’.  Meskipun demikian, pembagian dua-berbanding-satu ini tidak dilihat sebagai sesuatu yang inti, bukan pesan utama penurunan wahyu. Pesan utamanya/signifikansinya adalah pemberian hak mewaris kepada wanita dan penegakan keadilan. Signifikansi ini, sebagaimana telah dikemukakan, dapat dipahami, didefinisikan, dan kemudian diaplikasikan secara dinamis sesuai dengan perkembangan dan tingkat peradaban manusia. Kami sependapat dengan Nashr Hamid Abu Zayd yang menafsirkan ayat tersebut dengan pendekatan historisis. Dia berpendapat bahwa signifikansi ayat itu adalah ‘pembatasan (tahdid) terhadap bagian kaum lelaki’.[11] Kami juga sependapat dengan pandangan Muhammad Shahrur yang terdapat di dalam kitabnya al-Kitab wa-l-Qur’an bahwa bagian anak laki-laki merupakan ‘batas maksimal’ (al-hadd al-a‘la), sementara bagian anak perempuan dipandang sebagai ‘batas minimal’ (al-hadd al-adna). Hal ini berarti bahwa anak lelaki tidak boleh mendapat warisan lebih besar dari dua kali lipat bagian anak perempuan, tapi boleh kurang dari itu, dan anak perempuan tidak boleh mendapatkan lebih kecil dari 50% bagian lelaki, tetapi boleh lebih bsar dari itu, sesuai dengan kondisi masyarakat dan tuntutan zaman.[12] Pemahaman semacam ini selalu memperhatikan ‘kesadaran akan konsep keadilan’, dengan tidak harus selalu mengikuti makna literal dari sebuah teks. Terakhir, Abu Zayd menulis: “All kinds of ijtihad for the realisation of the equality which constitutes the basic intention and main goal of religious life are legitimate.”[13] Wallahu a‘lam.


[1]      Lihat pembahasan terperinci tentang ketiga pendapat tersebut di dalam disertasi penulis yang berjudul “Muhammad Šahrurs Koranhermeneutik und die Debatte um sie bei muslimischen Autoren” (Otto-Friedrich Universität Bamberg, 2006), hlm. 40-66.
[2]      Muhammad Shahrur, Nahwa Ushul Jadidah (Beirut: al-Ahali, 2000), hlm. 56-57.
[3]      Muhammad Shahur, al-Kitab wa-l-Qur’an: Qira’ah mu‘ashirah  (Beirut: al-Ahali, 1990), hlm. 36.
[4]      Shahrur, al-Kitab wa-l-Qur’an, hlm. 44.
[5]      Lihat Rahman, Islam and Modernity, hlm. 5-7.
[6]      Lihat al-Thalibi, ‘Iyal Allah (Tunis: Saras li-l-Nasyr, 1992), hlm. 142-144.
[7]      Lihat Abu Zayd, al-Nashsh, al-Sulthah, al-Haqiqah (Beirut: al-Markaz al-Tsaqafi al-‘Arabi, 1995), hlm. 116.
[8]          Isma‘il ibn ‘Umar ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim (Beirut: Dar al-Fikr, 2005), Jilid 1, hlm.414.  
[9]          Amina Muhsin-Wadud, Qur’an and Woman (Kuala Lumpur: Penerbit Fajar Bakti, 1992), hlm. 87.
[10]         ‘Ali b. AÎmad al-Wahidi, Asbab an-nuzul  (Beirut: Dar al-ma‘rifa, 1968), hlm. 82-84; Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, jilid 1, hlm. 414.  
[11]   Nashr Hamid Abu Zayd, Dawa’ir al-Khawf  (Beirut: al-Markaz ats-Tsaqafi al-‘arabi, 1999), hlm. 233.
[12]         Muhammad Syahrur, al-Kitab wa-l-Qur’an (Damaskus: al-Ahali, 1990).
[13]         Nashr Hamid Abu Zayd, Dawa’ir al-Khawf  (Beirut: al-Markaz ats-Tsaqafi al-‘Arabi, 1999), hlm. 233.

Tidak ada komentar: