Makalah
disampaikan saat bedah buku Dinamika Sejarah Tafsir Al-Qur’an : Studi Aliran Tafsir Dari Periode Klasik,Pertengahan, Hingga Modern-Kontemporer di
STAIN Pekalongan yang diadakan oleh HMJ Ushuluddin 2012
Oleh : Prof. Phill Sahiron Syamsuddin
A. Pendahuluan
Diskusi-diskusi
kontemporer di kalangan sarjana-sarjana Muslim mengenai bagaimana seharusnya
al-Qur’an dipahami, ditafsirkan, dan diaplikasikan ke dalam kehidupan
sehari-hari, dilatarbelakangi oleh satu kenyataan bahwa Umat Islam secara
keseluruhan meyakini bahwa al-Qur’an sebagai kitab suci terakhir adalah wahyu
Allah yang shalih li-kulli zaman wa-makan (sesuai dengan segala waktu
dan tempat), sehingga ia harus dijadikan pegangan hidup untuk mencapai
keselamatan dan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Hal ini adalah satu
sisi realita keyakinan keagamaan. Di sisi lain, kita juga mengetahui bahwa
al-Qur’an pada awalnya diwahyukan kepada Nabi Muhammad Saw untuk merespons
kondisi dan situasi sosial, politik, dan relijius masyarakat Arab saat itu yang
jauh berbeda dengan kondisi dan situasi kita saat ini. Dari sini, muncullah
beberapa pertanyaan: Bagaimana seharusnya sarjana-sarjana Muslim menafsirkan
al-Qur’an, sehingga pesan-pesan ilahi dapat ditangkap secara baik dan benar?
Haruskah kita memahami dan menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an secara literal dan
mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari sesuai dengan pemahaman literal
tersebut? Manakah dari al-Qur’an yang shalih li-kulli zaman wa-makan:
makna literal atau makna pesan utama di balik makna literal?
B. Tipologi Pembacaan al-Qur’an pada Masa Kontemporer
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan krusial di atas,
ulama-ulama/sarjana-sarjana Muslim kontemporer terbagi ke dalam tiga kelompok:[1]
1. Pandangan quasi-obyektivis tradisionalis
Yang dimaksud dengan
pandangan quasi-obyektivis tradisionalis adalah suatu pandangan bahwa
ajaran-ajaran al-Qur’an harus dipahami, ditafsirkan dan diaplikasikan pada masa
kini, sebagaimana ia dipahami, ditafsirkan dan diaplikasikan pada situasi, di
mana al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad dan disampaikan kepada generasi
Muslim awal. Umat Islam yang mengikuti pandangan ini, seperti Ikhwanul Muslimin
di Mesir dan kaum salafi di beberapa negara Islam, berusaha menafsirkan
al-Qur’an dengan bantuan berbagai perangkat metodis ilmu tafsir klasik, seperti
ilmu asbab al-nuzul, ilmu munasabat al-ayat, ilmu tentang ayat-ayat muhkam dan
mutashabih dll. dengan tujuan dapat menguak kembali makna obyektif atau makna
asal (objective meaning/original meaning) ayat tertentu. Pandangan
ini mempunyai tendensi utama memegangi pemahaman literal terhadap al-Qur’an.
Ketetapan-ketetapan hukum (juga ketetapan-ketetapan yang lain) yang tertera secara
tersurat di dalam al-Qur’an dipandangnya sebagai esensi pesan Tuhan, yang harus
diaplikasikan oleh umat Islam di manapun dan kapanpun. Hal ini mengarah kepada
satu kenyataan, bahwa tujuan-tujuan pokok atau alasan-alasan yang
melatarbelakangi penetapan hukun (maqashid al-sharБa) tidak
diperhatikan secara prinsipil. Para ulama yang memegang teguh pandangan ini
memang menjelaskan beberapa tujuan hukum yang mungkin merupakan dasar
ketetapan-ketetapan hukum al-Qur’an, namun penjelasan mereka itu tidak dimaksudkan
untuk memberikan penekanan pada tujuan-tujuan penetapan hukum itu sendiri,
melainkan bertujuan untuk menunjukkan bahwa ketetapan-ketetapan dalam al-Qur’an
itu rasional dan sebaiknya atau seharusnya diaplikasikan dalam kehidupan umat
Islam sepanjang masa. Singkat kata, apa yang dimaksud dengan moto al-qur’an
shaliÎ li-kulli zaman wa-makan adalah arti literal dari apa yang tersurat
secara jelas dalam al-Qur’an.
Contoh Penafsiran:
1. Q.S. 4:11 (tentang pembagian warisan) à Menurut kelompok ini, pembagian 1:2
adalah pesan utama, sehingga aturan ini harus diikuti sepanjang masa dan di
segala tempat.
2. Q.S. 4:3 (tentang poligami) à pembolehan poligami sebagai pesan inti.
2. Pandangan subyektivis
Berbeda dengan
pandangan-pandangan tersebut di atas, aliran subyektivis menegaskan bahwa
setiap penafsiran sepenuhnya merupakan subyektivitas penafsir, dan karena itu
kebenaran interpretatif bersifat relatif. Atas dasar ini, setiap generasi
mempunyai hak untuk menafsirkan al-Qur’an sesuai dengan perkembangan ilmu dan
pengalaman pada saat al-Qur’an ditafsirkan. Pandangan seperti ini antara lain
dianut oleh Muhammad Shahrur (Syahrur; Shahrour). Dia tidak lagi tertarik untuk
menelaah makna asal dari sebuah ayat atau kumpulan ayat-ayat. Mufassir
modern, menurutnya, seharusnya menafsirkan al-Qur’an sesuai dengan perkembangan
ilmu modern, baik itu ilmu eksakta maupun non-eksakta. Shahrur menegaskan bahwa
kebenaran interpretatif terletak pada kesesuaian sebuah penafsiran dengan
kebutuhan dan situasi serta perkembangan ilmu pada saat al-Qur’an ditafsirkan.
Dia mengatakan, misalnya:
Ijtihad itu dipandang
benar dan dapat diterima, jika ia sesuai dengan realitas (kehidupan) obyektif,
dengan kata lain, jika ‘pembaca’ teks memahami realitas obyektif pada saat
melakukan ‘penafsiran historis’. Pemahaman dan kesesuaian (dengan realitas
obyektif) merupakan ukuran yang dapat menentukan apakah sebuah penafsiran itu
benar atau salah.[2]
Jadi, baginya, tak satu
penafsiran pun mempunyai kebenaran absolut. Atas dasar ini, penafsiran
al-Qur’an pada masa awal Islam hanya merupakan usaha eksegetik awal (al-ihtimal
al-awwal), bukan satu-satunya penafsiran yang otoritatif (at-tafsir
al-wahid), sehingga kebenarannya bersifat relatif (nisbi), dalam
arti hanya sesuai dengan kebutuhan masanya.[3]
Dalam hal ini dia berpegang pada adagium: tsabat al-nashsh wa-harakat
al-muhtawa (teks al-Qur’an tetap, tetapi kandungannya terus bergerak atau
berkembang). Dia memandang bahwa al-Qur’an seakan-akan baru saja diterima oleh
kita dari Nabi Muhammad saw.[4]
Ide tentang relativitas penafsiran ini, menurutnya, diinspirasi oleh ‘filsafat
proses’ yang dikemukakan oleh Whitehead, seorang filosof kontemporer
berkebangsaan Inggris.
Contoh:
1. Q.S. 4:11
a. Penafsiran Shahrur
dalam kitabnya al-Kitab wa-l-Qur’an: Pembagian warisan 1:2 adalah batas
minimal (al-hadd al-adna) bagi anak perempuan dan batas maksimal (al-hadd
al-a‘la).
b. Penafsirannya dalam
bukunya Nahwa Ushul Jadidah: Ayat tersebut ditafsirkan dengan
menggunakan teori himpunan dan teori fungsi dalam matematika modern.
2. Q.S. 4:3 à Poligami
diperbolehkan dengan syarat yang ditetapkan dalam ayat tersebut dan bisa diaplikasikan
sesuai dengan mempertimbangkan kondisi masyarakat. Istri kedua dan seterusnya
harus janda yang mempunyai anak yatim.
3. Pandangan
quasi-obyektivis modernis
Pandangan
quasi-obyektivis modernis memiliki kesamaan dengan pandangan quasi-obyektivis
tradisionalis dalam hal bahwa mufassir di masa kini tetap berkewajiban untuk
menggali makna asal dengan menggunakan di samping perangkat metodis ilmu
tafsir, juga perangkat-perangkat metodis lain, seperti informasi tentang
konteks sejarah makro dunia Arab saat penurunan wahyu, teori-teori ilmu bahasa
dan sastra modern dan hermeneutika. Hanya saja, aliran quasi-obyektivis
modernis yang di antaranya dianut oleh Fazlurrahman dengan konsepnya double
movement,[5]
Muhammad al-Thalibi dengan konsepnya al-tafsir al-maqashidi[6]
dan Nashr Hamid Abu Zayd dengan konsepnya al-tafsir al-siyaqi,[7]
memandang makna asal (bersifat historis) hanya sebagai pijakan awal
bagi pembacaan al-Qur’an di masa kini; makna asal literal tidak lagi
dipandang sebagai pesan utama al-Qur’an. Bagi mereka, sajana-sarjana Muslim
saat ini harus juga berusaha memahami makna di balik pesan literal, yang
disebut oleh Rahman dengan ratio legis, dinamakan oleh al-Thalibi dengan
maqashid (tujuan-tujuan ayat) atau disebut oleh Abu Zayd dengan maghza
(signifikansi ayat). Makna di balik pesan literal inilah yang harus
diimplementasikan pada masa kini dan akan datang.
Contoh:
1. Q.S. 4:11
· Pembagian 1:2 adalah historis sesuai dengan kondisi masyarakat Arab waktu
turunnya ayat tersebut. Makna obyektif/historis tidak harus diaplikasikan di
sepanjang masa dan tempat
· Signifikansi ayat tersebut adalah pemberian hak untuk waris kepada kaum
wanita
2. Q.S. 4:3: Pembolehan
poligami disesuaikan dengan kondisi sejarah pada masa Nabi. Makna ini boleh
ditangguhkan (dilarang). Signifikansi/pesan utama ayat tersebut adalah
pembebasan kaum wanita dari hegemoni kaum pria, serta pembumian nilai keadilan.
C. Pembacaan Ma‘na-cum-Maghza sebagai Alternatif
1. Definisi
Dari tiga pandangan di
atas, pandangan quasi-obyektivis modernis lebih dapat diterima dalam rangka
memproyeksikan pengembangan motode pembacaan al-Qur’an pada masa kini.
Kelemahan pandangan quasi-obyektivis-tradisionalis terletak pada beberapa
kelemahan. Pertama, mereka tidak memperhatikan kenyataan bahwa sebagian
ketetapan hukum tersurat dalam al-Qur’an, seperti hukum perbudakan, tidak lagi
(paling tidak, pada masa sekarang) dapat diaplikasikan dalam kehidupan. Kedua,
mereka tidak membedaan antara pesan inti al-Qur’an dan pesan superfisial (bukan
inti). Ketiga, pandangan ini tidak memberikan peran akal yang
signifikan. Keempat, mereka yang memiliki pandangan ini tidak tertarik
untuk melakukan pembaharuan pemahaman mereka terhadap al-Qur’an untuk mencoba
menjawab tantangan-tantangan modern dengan cara mempertimbangkan adanya
perbedaan yang sangat menyolok antara situasi pada saat diturunkannya wahyu dan
situasi yang ada pada masa kini. Keterkungkungannya pada makna asal yang
literal dan mengenyampingkan pesan dibalik makna literal sebuah ayat atau
kumpulan ayat. Sementara itu, pandangan subyektivis cenderung menafsirkan
al-Qur’an sesuai dengan kemauan pembaca, padahal tugas pertama seorang mufassir
adalah membiarkan teks yang ditafsirkan itu berbicara dan menyampaikan pesan
tertentu, dan bukan sebaliknya. Akseptabilitas pandangan quasi-obyektivis
modernis terletak pada apa yang bisa disebut dengan “keseimbangan hermeneutik”,
dalam arti bahwa ia memberi perhatian yang sama terhadap makna asal literal (al-ma‘na
al-ashli) dan pesan utama (signifikansi; al-maghza) di balik makna
literal. Hanya saja, kelompok quasi-obyektivis modernis tidak memberikan
keterangan secara panjang lebar tentang ‘signifikansi’: Apakah signifikansi
yang dipahami pada masa Nabi atau pada saat ayat tertentu diinterpretasikan?
Menurut penulis, ada dua macam signifikansi. Pertama, ‘signifikansi
fenomenal’, yakni pesan utama yang dipahami dan diaplikasikan secara
kontekstual dan dinamis mulai pada masa Nabi hingga saat ayat ditafsirkan dalam
periode tertentu. Dari definisi ini, kita dapat membagi signifikansi fenomenal
ke dalam dua macam, yakni ‘signifikansi fenomenal historis’ dan ‘signifikansi
fenomenal dinamis’. Signifikansi fenomenal historis adalah pesan utama sebuah
ayat atau kumpulan ayat yang dipahami dan diaplikasikan pada masa pewahyuan
(masa Nabi), sedangkan signifikansi fenomenal dinamis adalah pesan al-Qur’an
yang dipahami dan didefinisikan pada saat ayat atau kumpulan ayat tertentu
ditafsirkan, dan setelah itu diaplikasikan dalam kehidupan. Untuk memahami
signifikansi fenomenal histroris, diperlukan pemahaman terhadap konteks makro
dan mikro sosial keagamaan masyarakat yang hidup pada masa pewahyuan.
Informasi-informasi historis yang terkandung dalam asbab an-nuzul menjadi
sangat penting. Sementara itu, untuk memahami signifikasi fenomenal dinamis,
diperlukan pemahaman terhadap perkembangan pemikiran dan Zeitgeist (‘spirit-masa’)
pada saat penafsiran teks. Kedua, ‘signifikansi ideal’, yakni akumulasi
ideal dari pemahaman-pemahaman terhadap signifikansi ayat. Akumulasi pemahaman
ini akan diketahui pada akhir/tujuan peradaban manusia yang dikehendaki oleh
Allah Swt. Dari sini, dapat diketahui bahwa sesuatu yang dinamis dari
penafsiran bukan terletak pada makna literal teks, melainkan pada pemaknaan
terhadap signifikansi (pesan utama) teks, karena makna literal adalah monistik
(satu), obyektif, dan historis-statis, sementara pemaknaan terhadap
signifikansi teks bersifat pluralis, subyektif (juga intersubyektif) dan
historis-dinamis sepanjang peradaban manusia. Pendekatan semacam ini merupakan
gabungan antara obyektivitas dan subyektifitas dalam penafsiran, antara wawasan
teks dan wawasan penafsir, antara masa lalu dan masa kini, dan terakhir antara
aspek ilahi dan aspek manusiawi. Dalam pembacaan yang didasarkan pada perhatian
yang sama terhadap makna dan signifikansi (ma‘na-cum-maghza) terletak ‘balanced
hermeneutics’ (hermeneutika yang seimbang/hermeneutika keseimbangan).
2. Contoh Aplikasi Pembacaan Alternatif
Agar proyek pemahaman
alternative ini dapat dipahami lebih baik, satu contoh aplikasinya segera
dikemukakan di sini. Bentuk penafsiran ini akan mencoba menguak makna dan
signifikansi dari pernyataan dalam Q.S. al-Nisa’: 11 yang memuat sistem
pembagian warisan bagi anak laki-laki dan anak perempuan. Pernyataan atau
penggalan ayat tersebut berbunyi:
yushikumu llahu fi
awladikum li-dz-dzakari mitslu hadzdzi l-untsayayni ...
Penggalan ayat ini dapat diterjemahkan sebagai
berikut:
Allah mensyari’atkan bagimu (tentang pusaka) untuk
anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak laki-laki sama dengan bahagian dua
anak perempuan ...
Dengan memperhatikan makna asli/obyektif dari teks
tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam pembagian harta warisan seorang
anak laki-laki mendapatkan harta pusaka dua kali lipat lebih besar daripada
bagian seorang anak perempuan. Pembagian semacam ini konon telah diaplikasikan
sejak zaman Nabi Muhammad. Sistem seperti inilah yang ditransfer secara terus
menerus dalam tradisi Islam sunni. Karena secara bahasa pernyataan ini sangat
jelas dan substansinya telah dipraktikkan pada masa awal Islam, maka sebagian
besar ulama memandang penggalan ayat tersebut (juga ayat-ayat warisan secara
keseluruhan) sebagai qath‘iyat ad-dalalah (menunjukkan arti yang pasti).
Konsekuensinya, menurut mereka, aturan ini harus diikuti oleh semua orang Islam
di manapun dan kapanpun. Di masa klasik, kesadaran akan keadilan ini sudah
tertanam begitu dalam, meskipun para ulama pada akhirnya lebih cenderung mengikuti
makna literal ayat tersebut dengan memberikan argumentasi mengapa perbedaan
prosentase (antara anak laki-laki dan perempuan) dalam pembagian harta warisan
itu harus terjadi. Ibn Katsir (w. 774 H.), misalnya, menafsirkan penggalan ayat
tersebut, sebagai berikut:
Allah memerintah kalian untuk menegakkan keadilan (‘adl)
dalam hal (pembagian warisan untuk) mereka (anak-anak kalian). Sesungguhnya
kaum Jahiliyah dahulu membagikan seluruh harta pusaka hanya kepada orang
laki-laki. Tak seorang wanita pun memperoleh bagian. Kemudian Allah memerintah
(umat Islam) pada asal pembagian warisan untuk membagi rata (taswiyah)
harta pusaka di antara mereka, dan Allah membedakan pembagian pusaka di antara
dua jenis tersebut (laki-laki dan perempuan): Allah memberi seorang anak lelaki
bagian yang sama dengan bagian dua anak perempuan. Demikian itu karena lelaki
membutuhkan (dana yang lebih banyak) untuk menanggung nafkah keluarga, beban
berbisnis dan berdagang, dan menanggung beban kehidupan yang lain. Maka,
pantaslah anak lelaki diberi dua kali lipat bagian lebih besar dari bagian
seorang anak perempuan.[8]
Dari pernyataan tersebut, jelaslah bahwa Ibn Katsir
menangkap pesan moral dari ayat tersebut, yakni keadilan, dan pembedaan
prosentasi pembagian harta pusaka untuk anak laki dan anak perempuan,
menurutnya, disebabkan oleh perbedaan beban kehidupan yang bisa dipandang
sebagai alasan penetapan hukum warisan. Bagaimana jika kondis ini berubah,
seperti halnya jika kaum wanita juga ikut serta dalam menanggung beban materi
kehidupan dan berperan dalam bidang bisnis? Dalam hal ini Ibn Katsir tidak
memberikan penjelasan. Dia justru tampak lebih cenderung memandang aturan
pembagian harta warisan yang disebutkan secara literal sebagai aturan yang
sesuai dan karenanya, harus dilaksanakan di segala zaman dan tempat. Dengan
kata lain, Ibn Katsir memandang makna literal teks tersebut sebagai pesan
utamanya dan bersifat final. Adapun penjelasannya tentang alasan penetapan
hukum semata-mata dimaksudkan untuk menunjukkan kepada para pembaca bahwa
penetapan pembagian waris dua-berbandig-satu itu merupakan penetapan adil yang
dapat diterima oleh rasio manusia. Ibn Katsir tidak menyadari bahwa konsep
keadilan ternyata berkembang sesuai dengan perkembangan pemikiran dan
pengalaman manusia. Sementara itu, di era modern ini aturan tersebut telah dan
masih dipertanyakan terutama berkaitan erat dengan konsep keadilan yang selalu
dinamis itu. Amina Muhsin-Wadud, seorang feminis berkebangsaan Amerika-Afrika,
mengemukakan dalam bukunya Qur’an and Woman:
The full extent of the Qur’anic provision requires a look at other details
which can lead to redistribution of the inheritance according to the
circumstances of the deceased and of those who inherit. The division of
inheritance requires a look at all of the members, combinations and benefit.
For example, if in a family of a son and two daughters, a widowed mother is
cared for and supported by one of her daughters, why should the son receive a
larger share? This might not be the decision if we look at the actual naf´a
of those particular offspring. The Qur’an does not elaborate all possibilities.
However, by providing a variety of scenarios, it is clear enough that many
combinations can and do exist, which must be considered for the equitable
distribution of inheritance.[9]
Pernyataan Wadud ini mengimplikasikan bahwa sistem
pembagian dua-berbanding-satu yang terdapat pada ayat tersebut tidaklah harus
diamalkan secara mutlak, tapi bisa ditafsirkan ulang dengan mempertimbangkan
kondisi masyarakat.
Bagaimana dengan pembacaan berbasis ma‘na-cum-maghza?
Sebagaimana telah dikemukakan, model pembacaan ini memberikan keseimbangan
perhatian terhadap makna asal-literal teks dan signifikansinya (pesan
utamanya). Tentang kandungan ayat tersebut, pembacaan ini tidak mengingkari
makna literal yang menununjukkan pembagian dua-berbanding-satu. Makna inilah
yang memang diaplikasikan pada masa Rasul. Pembagian ini dipandang sebagai
aturan yang ‘adil’ sesuai dengan pemahaman manusia saat itu. Hal ini diketahui
dari konteks historis bangsa Arab pada masa itu, di mana orang-orang yang
berhak mendapat harta pusaka adalah kaum lelaki yang mampu berperang. Kaum
wanita sama sekali tidak berhak untuk ikut mewarisi harta pusaka. Informasi
semacam ini dapat disimpulkan, paling tidak, dari asbab an-nuzul ayat
tersebut.[10]
Pembagian dua-berbanding-satu dipandang adil, karena telah memberikan bagian
tertetentu bagi kaum wanita. Pemberian bagian separoh lebih kecil untuk anak
perempuan dipandang sebagai sesuatu yang dapat diterima dan sesuai dengan rasa
‘keadilan historis’, karena sebelum turunnya wahyu bagian wanita berada pada
‘titik nol’, sedangkan setelah turunnya wahyu bagian wanita (anak perempuan)
berada pada ‘titik 50%’. Meskipun demikian, pembagian dua-berbanding-satu
ini tidak dilihat sebagai sesuatu yang inti, bukan pesan utama penurunan wahyu.
Pesan utamanya/signifikansinya adalah pemberian hak mewaris kepada wanita dan
penegakan keadilan. Signifikansi ini, sebagaimana telah dikemukakan, dapat
dipahami, didefinisikan, dan kemudian diaplikasikan secara dinamis sesuai
dengan perkembangan dan tingkat peradaban manusia. Kami sependapat dengan Nashr
Hamid Abu Zayd yang menafsirkan ayat tersebut dengan pendekatan historisis. Dia
berpendapat bahwa signifikansi ayat itu adalah ‘pembatasan (tahdid)
terhadap bagian kaum lelaki’.[11]
Kami juga sependapat dengan pandangan Muhammad Shahrur yang terdapat di dalam
kitabnya al-Kitab wa-l-Qur’an bahwa bagian anak laki-laki merupakan
‘batas maksimal’ (al-hadd al-a‘la), sementara bagian anak perempuan
dipandang sebagai ‘batas minimal’ (al-hadd al-adna). Hal ini berarti
bahwa anak lelaki tidak boleh mendapat warisan lebih besar dari dua kali lipat
bagian anak perempuan, tapi boleh kurang dari itu, dan anak perempuan tidak
boleh mendapatkan lebih kecil dari 50% bagian lelaki, tetapi boleh lebih bsar
dari itu, sesuai dengan kondisi masyarakat dan tuntutan zaman.[12]
Pemahaman semacam ini selalu memperhatikan ‘kesadaran akan konsep keadilan’,
dengan tidak harus selalu mengikuti makna literal dari sebuah teks. Terakhir,
Abu Zayd menulis: “All kinds of ijtihad for the realisation of the equality
which constitutes the basic intention and main goal of religious life are legitimate.”[13] Wallahu a‘lam.
[1] Lihat
pembahasan terperinci tentang ketiga pendapat tersebut di dalam disertasi
penulis yang berjudul “Muhammad Šahrurs Koranhermeneutik und die Debatte um sie
bei muslimischen Autoren” (Otto-Friedrich Universität Bamberg, 2006), hlm.
40-66.
[7] Lihat Abu Zayd, al-Nashsh, al-Sulthah,
al-Haqiqah (Beirut: al-Markaz al-Tsaqafi al-‘Arabi, 1995), hlm. 116.
[8]
Isma‘il ibn ‘Umar ibn Katsir, Tafsir
al-Qur’an al-‘Azhim (Beirut: Dar al-Fikr, 2005), Jilid 1,
hlm.414.
[10]
‘Ali b.
AÎmad al-Wahidi, Asbab an-nuzul (Beirut: Dar al-ma‘rifa, 1968),
hlm. 82-84; Ibn Katsir, Tafsir
al-Qur’an al-‘Azhim, jilid 1, hlm. 414.
[11] Nashr Hamid
Abu Zayd, Dawa’ir al-Khawf (Beirut: al-Markaz ats-Tsaqafi
al-‘arabi, 1999), hlm. 233.
[13] Nashr Hamid Abu Zayd, Dawa’ir
al-Khawf (Beirut: al-Markaz ats-Tsaqafi al-‘Arabi, 1999), hlm. 233.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar